Masa Kemajuan Islam (650-1000 M)
- Khilafah Rasyidah
Khilafah Rasyidah merupakan para
pemimpin ummat Islam setelah Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wasallam wafat,
yaitu pada masa pemerintahan Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan
Ali bin Abi Thalib, Radhiallahu Ta’ala anhu ajma’in dimana sistem pemerintahan
yang diterapkan adalah pemerintahan yang islami karena berundang-undangkan
dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi
wasallam tidak meninggalkan wasiat tentang siapa yang akan menggantikan beliau
Shallallahu ‘Alaihi wasallam sebagai pemimpin politik umat Islam setelah beliau
Shallallahu ‘Alaihi wasallam wafat. Beliau Shallallahu ‘Alaihi wasallam
nampaknya menyerahkan persoalan tersebut kepada kaum muslimin sendiri untuk
menentukannya. Karena itulah, tidak lama setelah beliau Shallallahu ‘Alaihi
wasallam wafat; belum lagi jenazahnya dimakamkan, sejumlah tokoh Muhajirin dan
Anshar berkumpul di balai kota Bani Sa'idah, Madinah. Mereka
memusyawarahkan siapa yang akan dipilih menjadi pemimpin. Musyawarah itu berjalan cukup alot karena masing-masing pihak, baik Muhajirin maupun Anshar, sama-sama merasa berhak menjadi pemimpin umat Islam. Namun, dengan semangat ukhuwah Islamiyah yang tinggi, akhirnya, Abu Bakar Radhiallahu ‘anhu terpilih. Rupanya, semangat keagamaan Abu Bakar Radhiallahu ‘anhu mendapat penghargaan yang tinggi dari umat Islam, sehingga masing-masing pihak menerima dan membaiatnya.
memusyawarahkan siapa yang akan dipilih menjadi pemimpin. Musyawarah itu berjalan cukup alot karena masing-masing pihak, baik Muhajirin maupun Anshar, sama-sama merasa berhak menjadi pemimpin umat Islam. Namun, dengan semangat ukhuwah Islamiyah yang tinggi, akhirnya, Abu Bakar Radhiallahu ‘anhu terpilih. Rupanya, semangat keagamaan Abu Bakar Radhiallahu ‘anhu mendapat penghargaan yang tinggi dari umat Islam, sehingga masing-masing pihak menerima dan membaiatnya.
Sebagai pemimpin umat Islam setelah
Rasul, Abu Bakar Radhiallahu ‘anhu disebut Khalifah Rasulillah (Pengganti Rasul
Allah) yang dalam perkembangan selanjutnya disebut khalifah saja. Khalifah
adalah pemimpin yang diangkat sesudah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wasallam wafat
untuk menggantikan beliau Shallallahu ‘Alaihi wasallam melanjutkan tugas-tugas
sebagai pemimpin agama dan kepala pemerintahan.
Abu Bakar Radhiallahu ‘anhu menjadi
khalifah hanya dua tahun. Pada tahun 634 M ia meninggal dunia. Masa sesingkat
itu habis untuk menyelesaikan persoalan dalam negeri terutama tantangan yang
disebabkan oleh suku-suku bangsa Arab yang tidak mau tunduk lagi kepada
pemerintah Madinah sepeninggal Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wasallam. Mereka
menganggap bahwa perjanjian yang dibuat dengan Nabi Muhammad Shallallahu
‘Alaihi wasallam, dengan sendirinya batal setelah Nabi Shallallahu ‘Alaihi
wasallam wafat. Karena itu mereka menentang Abu Bakar Radhiallahu ‘anhu. Karena
sikap keras kepala dan penentangan mereka yang dapat membahayakan agama dan
pemerintahan, Abu Bakar Radhiallahu ‘anhu menyelesaikan persoalan ini dengan
apa yang disebut Perang Riddah (perang melawan kemurtadan). Khalid ibn Al-Walid
Radhiallahu ‘anhu adalah panglima yang banyak berjasa dalam Perang Riddah ini.
Nampaknya, kekuasaan yang
dijalankan pada masa Khalifah Abu Bakar Radhiallahu ‘anhu, sebagaimana pada
masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wasallam, bersifat sentral; kekuasaan
legislatif, eksekutif dan yudikatif terpusat di tangan khalifah. Selain
menjalankan roda pemerintahan, Khalifah juga melaksanakan hukum yang telah
ditetapkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Meskipun demikian, seperti juga Nabi
Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wasallam, Abu Bakar Radhiallahu ‘anhu selalu
mengajak sahabat-sahabat besarnya bermusyawarah.
Setelah menyelesaikan urusan perang
dalam negeri, barulah Abu Bakar Radhiallahu ‘anhu mengirim kekuatan ke luar
Arabia. Khalid ibn Walid Radhiallahu ‘anhu dikirim ke Iraq dan dapat menguasai
wilayah al-Hirah di tahun 634 M. Ke Syria dikirim ekspedisi di bawah pimpinan
empat panglima yaitu Abu Ubaidah ibnul Jarrah, Amr ibnul 'Ash, Yazid ibn Abi
Sufyan dan Syurahbil Radhiallahu Ta’ala anhu ajma’in. Sebelumnya pasukan
dipimpin oleh Usamah ibn Zaid Radhiallahu ‘anhu yang masih berusia 18 tahun.
Untuk memperkuat tentara ini, Khalid ibn Walid Radhiallahu ‘anhu diperintahkan
meninggalkan Irak, dan melalui gurun pasir yang jarang dijalani, ia sampai ke
Syria.
Pada saat Abu Bakar Radhiallahu
‘anhu meninggal dunia, sementara barisan depan pasukan Islam sedang mengancam
Palestina, Irak, dan kerajaan Hirah. Ia diganti oleh "tangan kanan"
nya, Umar ibn Khatthab al-Faruq Radhiallahu ‘anhu. Ketika Abu Bakar Radhiallahu
‘anhu sakit dan merasa ajalnya sudah dekat, ia bermusyawarah dengan para pemuka
sahabat, kemudian mengangkat Umar ibn Khatthab Radhiallahu ‘anhu sebagai penggantinya
dengan maksud untuk mencegah kemungkinan terjadinya perselisihan dan perpecahan
di kalangan umat Islam. Kebijaksanaan Abu Bakar Radhiallahu ‘anhu tersebut
ternyata diterima masyarakat yang segera secara beramai-ramai membaiat Umar
Radhiallahu ‘anhu . Umar Radhiallahu ‘anhu menyebut dirinya Khalifah Rasulillah
(pengganti dari Rasulullah). Ia juga memperkenalkan istilah Amir al-Mu'minin
(petinggi orang-orang yang beriman).
Di zaman Umar Radhiallahu ‘anhu
gelombang ekspansi (perluasan daerah kekuasaan) pertama terjadi; ibu kota
Syria, Damaskus, jatuh tahun 635 M dan setahun kemudian, setelah tentara
Bizantium kalah di pertempuran Yarmuk, seluruh daerah Syria jatuh ke bawah
kekuasaan Islam. Dengan memakai Syria sebagai basis, ekspansi diteruskan ke Mesir
di bawah pimpinan 'Amr ibn 'Ash Radhiallahu ‘anhu dan ke Irak di bawah pimpinan
Sa'ad ibn Abi Waqqash Radhiallahu ‘anhu. Iskandariah/Alexandria, ibu kota
Mesir, ditaklukkan tahun 641 M. Dengan demikian, Mesir jatuh ke bawah kekuasaan
Islam. Al-Qadisiyah, sebuah kota dekat Hirah di Iraq, jatuh pada tahun 637 M.
Dari sana serangan dilanjutkan ke ibu kota Persia, al-Madain yang jatuh pada
tahun itu juga. Pada tahun 641 M, Moshul dapat dikuasai. Dengan demikian, pada
masa kepemimpinan Umar Radhiallahu ‘anhu, wilayah kekuasaan Islam sudah
meliputi Jazirah Arabia, Palestina, Syria, sebagian besar wilayah Persia, dan
Mesir.
Karena perluasan daerah terjadi
dengan cepat, Umar Radhiallahu ‘anhu segera mengatur administrasi negara dengan
mencontoh administrasi yang sudah berkembang terutama di Persia. Administrasi
pemerintahan diatur menjadi delapan wilayah propinsi: Makkah, Madinah, Syria,
Jazirah Basrah, Kufah, Palestina, dan Mesir. Beberapa departemen yang dipandang
perlu didirikan. Pada masanya mulai diatur dan ditertibkan sistem pembayaran
gaji dan pajak tanah. Pengadilan didirikan dalam rangka memisahkan lembaga
yudikatif dengan lembaga eksekutif. Untuk menjaga keamanan dan ketertiban,
jawatan kepolisian dibentuk. Demikian pula jawatan pekerjaan umum. Umar juga mendirikan
Bait al-Mal, menempa mata uang, dan membuat tahun hijiah.
Umar Radhiallahu ‘anhu memerintah
selama sepuluh tahun (13-23 H/634-644 M). Masa jabatannya berakhir dengan
kematian. Dia dibunuh oleh seorang majusi, budak dari Persia bernama Abu
Lu'lu'ah. Untuk menentukan penggantinya, Umar Radhiallahu ‘anhu tidak menempuh
jalan yang dilakukan Abu Bakar Radhiallahu ‘anhu. Dia menunjuk enam orang
sahabat dan meminta kepada mereka untuk memilih salah seorang diantaranya
menjadi khalifah. Enam orang tersebut adalah Usman, Ali, Thalhah, Zubair, Sa'ad
ibn Abi Waqqash, Abdurrahman ibn 'Auf Radhiallahu Ta’ala anhu ajma’in. Setelah
Umar Radhiallahu ‘anhu wafat, tim ini bermusyawarah dan berhasil menunjuk
Utsman Radhiallahu ‘anhu sebagai khalifah, melalui proses yang agak ketat
dengan Ali ibn Abi Thalib Radhiallahu ‘anhu.
Di masa pemerintahan Utsman
Radhiallahu ‘anhu (644-655 M), Armenia, Tunisia, Cyprus, Rhodes, dan bagian
yang tersisa dari Persia, Transoxania, dan Tabaristan berhasil direbut.
Ekspansi Islam pertama berhenti sampai di sini.
Pemerintahan Usman Radhiallahu
‘anhu berlangsung selama 12 tahun, pada paruh terakhir masa kekhalifahannya
muncul perasaan tidak puas dan kecewa di kalangan umat Islam terhadapnya.
Kepemimpinan Utsman Radhiallahu ‘anhu memang sangat berbeda dengan kepemimpinan
Umar Radhiallahu ‘anhu. Ini karena fitnah dan hasutan dari Abdullah bin Saba’
Al-Yamani salah seorang yahudi yang berpura-pura masuk islam. Ibnu Saba’ ini
gemar berpindah-pindah dari suatu tempat ke tempat lainnya untuk menyebarkan
fitnah kepada kaum muslimin yang baru masa keislamannya. Akhirnya pada tahun 35
H/1655 M, Utsman Radhiallahu ‘anhu dibunuh oleh kaum pemberontak yang terdiri
dari orang-orang yang berhasil dihasut oleh Abdullah bin Saba’ itu.
Salah satu faktor yang menyebabkan
banyak rakyat berburuk sangka terhadap kepemimpinan Utsman Radhiallahu ‘anhu
adalah kebijaksanaannya mengangkat keluarga dalam kedudukan tinggi. Yang
terpenting diantaranya adalah Marwan ibn Hakam Rahimahullah. Dialah pada
dasarnya yang dianggap oleh orang-orang tersebut yang menjalankan pemerintahan,
sedangkan Utsman Radhiallahu ‘anhu hanya menyandang gelar Khalifah. Setelah
banyak anggota keluarganya yang duduk dalam jabatan-jabatan penting, Usman
Radhiallahu ‘anhu laksana boneka di hadapan kerabatnya itu. Dia tidak dapat
berbuat banyak dan terlalu lemah terhadap keluarganya. Dia juga tidak tegas
terhadap kesalahan bawahan. Harta kekayaan negara, oleh kerabatnya
dibagi-bagikan tanpa terkontrol oleh Usman Radhiallahu ‘anhu sendiri. Itu semua
akibat fitnah yang ditebarkan oleh Abdullah bin Saba’.
Padahal Utsman Radhiallahu ‘anhu
yang paling berjasa membangun bendungan untuk menjaga arus banjir yang besar
dan mengatur pembagian air ke kota-kota. Dia juga membangun jalan-jalan,
jembatan-jembatan, masjid-masjid dan memperluas masjid Nabi di Madinah.
Setelah Utsman Radhiallahu ‘anhu
wafat, masyarakat beramai-ramai membaiat Ali ibn Abi Thalib Radhiallahu ‘anhu
sebagai khalifah. Ali Radhiallahu ‘anhu memerintah hanya enam tahun. Selama
masa pemerintahannya, ia menghadapi berbagai pergolakan. Tidak ada masa sedikit
pun dalam pemerintahannya yang dapat dikatakan stabil. Setelah menduduki
jabatan khalifah, Ali Radhiallahu ‘anhu menon-aktifkan para gubernur yang
diangkat oleh Utsman Radhiallahu ‘anhu. Dia yakin bahwa
pemberontakan-pemberontakan terjadi karena keteledoran mereka. Dia juga menarik
kembali tanah yang dihadiahkan Utsman Radhiallahu ‘anhu kepada penduduk dengan
menyerahkan hasil pendapatannya kepada negara, dan memakai kembali sistem
distribusi pajak tahunan diantara orang-orang Islam sebagaimana pernah
diterapkan Umar Radhiallahu ‘anhu.
Tidak lama setelah itu, Ali ibn Abi
Thalib Radhiallahu ‘anhu menghadapi pemberontakan Thalhah, Zubair dan Aisyah.
Alasan mereka, Ali Radhiallahu ‘anhu tidak mau menghukum para pembunuh Utsman
Radhiallahu ‘anhu , dan mereka menuntut bela terhadap darah Utsman Radhiallahu
‘anhu yang telah ditumpahkan secara zhalim. Ali Radhiallahu ‘anhu sebenarnya
ingin sekali menghindari perang. Dia mengirim surat kepada Thalhah dan Zubair
Radhiallahu ‘anhu ajma’in agar keduanya mau berunding untuk menyelesaikan
perkara itu secara damai. Namun ajakan tersebut ditolak. Akhirnya, pertempuran
yang dahsyat pun berkobar. Perang ini dikenal dengan nama Perang Jamal (Unta),
karena Aisyah Radhiallahu ‘anha dalam pertempuran itu menunggang unta, dan
berhasil mengalahkan lawannya. Zubair dan Thalhah terbunuh, sedangkan Aisyah
Radhiallahu ‘anha ditawan dan dikirim kembali ke Madinah.
Bersamaan dengan itu,
kebijaksanaan-kebijaksanaan Ali Radhiallahu ‘anhu juga mengakibatkan timbulnya
perlawanan dari para gubernur di Damaskus, Mu'awiyah Radhiallahu ‘anhu, yang
didukung oleh sejumlah bekas pejabat tinggi yang merasa kehilangan kedudukan
dan kejayaan. Setelah berhasil memadamkan pemberontakan Zubair, Thalhah dan
Aisyah, Ali Radhiallahu ‘anhu bergerak dari Kufah menuju Damaskus dengan
sejumlah besar tentara. Pasukannya bertemu dengan pasukan Mu'awiyah Radhiallahu
‘anhu di Shiffin. Pertempuran terjadi di sini yang dikenal dengan nama perang
shiffin. Perang ini diakhiri dengan tahkim (arbitrase), tapi tahkim ternyata
tidak menyelesaikan masalah, bahkan menyebabkan timbulnya golongan ketiga,
al-Khawarij, orang-orang yang keluar dari barisan Ali Radhiallahu ‘anhu.
Akibatnya, di ujung masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘anhu umat
Islam terpecah menjadi tiga kekuatan politik, yaitu Mu'awiyah, Syi'ah (pengikut
Abdullah bin Saba’ al-yahudi) yang menyusup pada barisan tentara Ali
Radhiallahu ‘anhu, dan al-Khawarij (orang-orang yang keluar dari barisan Ali).
Keadaan ini tidak menguntungkan Ali Radhiallahu ‘anhu. Munculnya kelompok
al-khawarij menyebabkan tentaranya semakin lemah, sementara posisi Mu'awiyah
Radhiallahu ‘anhu semakin kuat. Pada tanggal 20 ramadhan 40 H (660 M), Ali
Radhiallahu ‘anhu terbunuh oleh salah seorang anggota Khawarij yaitu Abdullah
bin Muljam.
Kedudukan sebagai khalifah kemudian
dijabat oleh anaknya al-Hasan bin Ali Radhiallahu ‘anhuma selama beberapa
bulan. Namun, karena al-Hasan Radhiallahu ‘anhuma menginginkan perdamaian dan menghindari
pertumpahan darah, maka al-Hasan Radhiallahu ‘anhuma menyerahkan jabaran
kekhalifahan kepada Mu’awiyah Radhiallahu ‘anhu . Dan akhirnya penyerahan
kekuasaan ini dapat mempersatukan umat Islam kembali dalam satu kepemimpinan
politik, di bawah Mu'awiyah ibn Abi Sufyan Radhiallahu ‘anhu . Di sisi lain,
penyerahan itu juga menyebabkan Mu'awiyah Radhiallahu ‘anhu menjadi penguasa
absolut dalam Islam. Tahun 41 H (661 M), tahun persatuan itu, dikenal dalam
sejarah sebagai tahun jama'ah ('am jama'ah)! Dengan demikian berakhirlah masa
yang disebut dengan masa Khulafa'ur Rasyidin, dan dimulailah kekuasaan Bani
Umayyah dalam sejarah politik Islam.
Ketika itu wilayah kekuasaan Islam
sangat luas. Ekspansi ke negeri-negeri yang sangat jauh dari pusat kekuasaannya
dalam waktu tidak lebih dari setengah abad, merupakan kemenangan menakjubkan
dari suatu bangsa yang sebelumnya tidak pernah mempunyai pengalaman politik
yang memadai. Faktor-faktor yang menyebabkan ekspansi itu demikian cepat antara
lain adalah:
- Islam, disamping merupakan ajaran yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, juga agama yang mementingkan soal pembentukan masyarakat.
- Dalam dada para sahabat, tertanam keyakinan tebal tentang kewajiban menyerukan ajaran-ajaran Islam (dakwah) ke seluruh penjuru dunia. Disamping itu, suku-suku bangsa Arab gemar berperang. Semangat dakwah dan kegemaran berperang tersebut membentuk satu kesatuan yang padu dalam diri umat Islam.
- Bizantium dan Persia, dua kekuatan yang menguasai Timur Tengah pada waktu itu, mulai memasuki masa kemunduran dan kelemahan, baik karena sering terjadi peperangan antara keduanya maupun karena persoalan-persoalan dalam negeri masing-masing.
- Pertentangan aliran agama di wilayah Bizantium mengakibatkan hilangnya kemerdekaan beragama bagi rakyat. Rakyat tidak senang karena pihak kerajaan memaksakan aliran yang dianutnya. Mereka juga tidak senang karena pajak yang tinggi untuk biaya peperangan melawan Persia.
- Islam datang ke daerah-daerah yang dimasukinya dengan sikap simpatik dan toleran, tidak memaksa rakyat untuk mengubah agamanya untuk masuk Islam.
- Bangsa Sami di Syria dan Palestina dan bangsa Hami di Mesir memandang bangsa Arab lebih dekat kepada mereka daripada bangsa Eropa, Bizantium, yang memerintah mereka.
- Mesir, Syria dan Irak adalah daerah-daerah yang kaya. Kekayaan itu membantu penguasa Islam untuk membiayai ekspansi ke daerah yang lebih jauh.
Mulai dari masa Abu Bakar sampai
kepada Ali Radhiallahu Ta’ala anhum ajma’in dinamakan periode Khilafah
Rasyidah. Para khalifahnya disebut al-Khulafa' al-Rasyidun, (khalifah-khalifah
yang mendapat petunjuk). Ciri masa ini adalah para khalifah betul-betul menurut
teladan Nabi. Mereka dipilih melalui proses musyawarah, yang dalam istilah
sekarang disebut demokratis. Setelah periode ini, pemerintahan Islam berbentuk
kerajaan. Kekuasaan diwariskan secara turun temurun. Selain itu, seorang
khalifah pada masa khilafah Rasyidah, tidak pernah bertindak sendiri ketika
negara menghadapi kesulitan; Mereka selalu bermusyawarah dengan pembesar-pembesar
yang lain. Sedangkan para penguasa sesudahnya sering bertindak otoriter. inna
lillahi wa inna ilaihi raaji’uun.
No comments:
Post a Comment