27 Jul 2013

PADUSAN DALAM PRESPEKTIF ISLAM


ARTI PADUSAN PADA KALANGAN MASYARAKAT 

Sudah menjadi semacam ritual tahunan menjelang masuknya bulan Ramadhan (di akhir bulan syaban), sebagian umat islam melakukan kegiatan padusan (mandi besar) dengan tujuan agar ketika ramadhan tiba kondisi tubuh mereka bersih dan siap menjali ibadah puasa. Kegiatan padusan merupakan satu rangkaian dengan kegiatan-kegiatan lainnya di bulan ramadhan seperti nyadran dan salat tasbih di malam misyufu (pertengahan syaban).

Sejarah kegiatan padusan ini dimulai zaman awal dakwah islam di tanah jawa oleh walisanga. Ini bagian dari proses islamisasi tradisi local, yang dilaukan oleh sunan kalijaga dengan mengadopsi kebiasaan orang-orang hindu di sekitar jawa tengah dan penganut kepercayaan karuhan di sekitar jawa kulon yang ketika itu menjadi pusat kerajaan pajajaran yang dipimping oleh raja Sang Prabu Baduga Maharaja (1482-1521M) atau saat ini dekenal dengan tokoh Prabu Siliwangi. Corong dakwah islam di jawa kulon, melalui kerajaan Cirebon (didirikan oleh Prabu Cakrabuwana) dan banten kemudian menguat di tanah pakuan di zaman raja Prabu Nikalendra (1551-1567M). Sementara dakwah dan pengembangan islam di wilayah jawa tengah dan timur dikelola oleh kerajaan demak. Dan proses akulturasi budaya islam di wilayah jawa tengan dan jawa
timur jauh lebih cepat penetrasi dan keberhasilannya jika dibandingkan dengan proses akulturasi budaya islam di jawa kulon (pajajaran dengan ibukota pakuan).

Di pajajaran kala itu, setiap tahun ada ritual mandi suci yang disebut upacara Kuwerabakti di telaga Renamahawijaya yang dilakukan oleh raja, keluarganya dan setelah itu diikuti oleh seluruh rakyat. Di dalam tradisi hindu di wilayah kerajaan jawa tengah pun demikian, ada upacara mandi untuk menyongsong event-event besar seperti pernikahan, panen agung dan sebagainya. Maka upacara inilah yang diadopsi oleh para wali agar umay yang berstatus sebagai mualaf tidak terlalu kaget dengan perubahan-perubahan dalam struktur ibadah yang teralalu radikal.

Di dalam konteks itu, pemikiran sunan kalijaga yang legitimasi melalui organisasi walisanga ini sangat dipahami sebagai sebuah metode (fiqh) dakwah yang merangkul umat dalam skala yang lenih luas. Secara teologis mereka mengubah keyakinannya dari konsep politeisme ke konsep tauhid. Sementara untuk aspek amaliah, masih diberikan toleransi dan tajdid yang kreatif.
Namun seiring berjalannya waktu ada cukup banyak pergeseran-pergeseran konsep dan ritual padusan tersebut dari sekedar kegiatan bersih-bersih menjadi semacam event budaya sehingga kita dapat melihat kegiatan padusan ini dilakukan dengan diiringi berbagai hiburan seperti campursari dan dangdutan atau pun melakukan padusan di kolam renang umum yang notabene wanita dan laki-laki bercampur. Disisi lain, para laki-laki dan perempuan yang sudah akil baligh mandi disebuah kolam atau sungai bersama-sama dengan saling membuka aurat sehingga tujuan kegiatan bersih-bersihnya menjadi ajang cuci mata.

Model kegiatan yang bergeser kearah ini, jelas tidak masuk kedalam budaya islam yang sebegitu ketat didalam mengatur interaksi antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrimnya. Jangankan melihat aurat, atau bentuk tubuh wanita yang membentuk akibat busana yang basah. Seorang wanita dewasa menunjukan rambutnya didepan seorang laki-laki yang bukan muhrimnya saja sudah diharamkan. Apalagi memang di dalam pembahsan figh ibadah, mandi sebelum masuknya ramadhan memang tidak masuk kedalam bentuk ibadah seperti halnya mandi sunat ketika akan masuk ke tanggal 1 syawal (Idul Fitri) atau ketika akan masuk ke 10 Dulhijah (Idul Adha). Sehingga mandi sebelum masuknya ramadhan adalah mandi biasa seperti halnya kegiatan mandi yang dilakukan setiap hari untuk bersih-bersih biasa, sehingga mandi dengan model sifatnya mubah saja dilakukan selama tidak melampaui hal-hal yang diharamkan seperti membuka aurat umum dimuka umum.

Mungkin ada baiknya, agar tidak berdosa dan meluruskan persepsi tentang padusan seperti filosofis yang diinginkan oleh para wali dulu sehingga padusan tetap termasuk kedalam bagian integral budaya local yang diislamkan, maka akan sangat baik jika kegiatan padusan dilakukan sendiri-sendiri saja ditempat yang tertutup jika memang tujuannya untuk meningkatkan kualitas dan kebersihan diri agar ibadah terasa lebih nyaman di bulan ramadhan. Sebuah budaya dapat dikatakan islami, adalah kebudayaan yang senantiasa sesuai, relevan, seiring dan sejalan dengan nilai-nilai syariat islam itu sendiri. Wallahu Alamu Bishawwab.

No comments:

Post a Comment

CONTOH PROPOSAL PENGADAAN PERPUSTAKAAN DALAM PELAKSANAAN KURIKULUM 2013

CONTOH PROPOSAL PENGADAAN SARANA DAN PRASARANA   PERPUSTAKAAN SMA NEGERI BAB   I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pe...