Islam
dikawasan kepulauan nusantara telah berkembang dengan pesat melalui beberapa
proses akultursi budaya. Integrasi pemikiran islam selalu dikaitkan dengan
kekhasan budaya lokal. Dalam konteks ini dakwah islamiyah selalu melihat
lingkungan sosial budaya dengan arif dan bijaksana. Kemampuan adaptasi ini
merupakan kecerdasan sosial, intelektual dan spiritual yang dimiliki oleh para
ulama dahulu yang bertugas menyebarkan agama islam. Kearifan lokal menjadi
dasar dalam menerapkan nilai-nilai keislaman, sehingga terjadi sebuah hubungan
harmonis antara agama dan budaya.
Pada
dasarnya perkembangan suatu kebudayaan yang mengandung nilai-nilai ajaran islam
pasti melalui suatu dinamika dan proses yang panjang. Integrasi islam dan
budaya lokal bisa lebih dipahami dengan melihat beberapa contoh kebudayaan
nusantara yang mengandung unsur-unsur perspektif islam. Sebagai salah satu
contoh adalah akar kebudayaan Jogjakarta yang masuk kedalam budaya Jawa. Maka
dalam contoh ini akan diketahui unsur-unsur islam yang mewarnai kebudayaan
Jogjakarta.
Membicarakan
akar kebudayaan Jogjakarta tidak dapat dipisahkan oleh keberadaan Kerajaan
Ngayogyakarta Hadiningrat (Kraton Jogja) sebagai pusat sekaligus pengembang dan
penjaga kebudayaan Jogjakarta. Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat adalah
pewaris syah Kerajaan Mataaram Islam. Nilai dasar atau ruh Kraton Jogja adalah
islam. Ajaran yang berupa Hakikat, Syari’at, dan Ma’rifat Islamiyah diusahakan
berjalan dengan menggunakan simbol-simbol dan pendekatan budaya Jawa.
Sebagai
kerajaan Islam Kasultanan Jogjakarta menghidupkan syari’at islam, yaitu antara
lain menjalankan hukum Islam dengan membuat “Mahkamah Al Kabiroh” di serambi
Masjid Gedhe Kauman, disamping membuat masjid kerajaan (Masjid Gedhe), juga
membuat Masjid Pathok Negara (batas negara agung/ibu kota) dilengkapi dengan
tanah perdikan untuk pesantren. Di bangun pula Masjid Penepen (untuk I’tiqaf
Sultan, letaknya didalam Kraton), dan Masjid Suronoto untuk sholat para abdi
dalem (letaknya di Keben). Selain masjid, dalam struktur Kraton juga terdapat
pejabat yang mengurusi perkembangan agama Islam, yang dikepalai oleh Penghulu
Kraton, dibantu Kaji Selusinan dan para Ketib. Keturunan sultan (Raja) yang
disebut Sentana Dalem bila akan menikah
harus dengan sesama muslim. Pernikahan dan pembagian hukum waris di kraton juga
dengan Hukum Islam.
Kraton
Jogjakarta juga masih terus menghidupkan upacara-upacara yang bernafaskan
islam, antara lain: Sekaten dan Grebek Mulud (untuk memperingati Maulid Nabi
Muhammad SAW), Grebek Syawal dan Silaturahmi Sultan dengan Rakyat (menyambut
idul fitri), Grebek Besar (memperingati hari raya Idul Adha) dan tidak lupa
Siltan juga membagikan Zakat Fitrah dan Hewan Qurban.
Budaya
seni Jogjakarta juga tidak terlepas dari nafas islam yang dapat dilihat dari
Seni Sastra (Serat Muhammad, Serat Ambiya, dan Serat Tajus Salatin), Seni Suara
(Macapat, Langen Swara, dan Slawatan), Seni Lukis (bangunan kraton dan masjid),
Seni Musik (Gamelan Sekaten, Seni Pedalangan, seperti dimunculkannya Wayang
Sadat, Episode Dewa Ruci dan Jimat Kalimasada).
Dalam
seni pengaturan negara (berpolitik), pejabat negara mendapatkan status sebagai
“Pamong” atau “Pangon” yang artinya penggembala. Maknanya bahwa pejabat negara
adalah pelayan umat yang melindungi dan mengusahakan kesejahteraan bagi
masyarakatnya. Istilah Pamong selaras dengan ajaran islam, yaitu “Ro’in” yang
artinya penggembala atau yang mengelola.
Masyarakat
Jawa termasuk Jogjakarta memiliki dua kaidah dasar dalam kehidupan masyarakat,
yaitu Prinsip Rukun (mewujudkan/mempertahankan masyarakat dalam keadaan
harmonis) dan Prinsip Hormat (berperan dalam mengatur pola interaksi sosial
masyarakat Jawa). Selain itu juga terdapat beberapa nilai yang menjadi pegangan
dalam kehidupan masyarakat Jogjakarta, yaitu: Nrimo, Sabar, Gotong Royong,
Taqwa, Rembug Bareng, Tepa-Slira dan Ojo Dumeh.
Nrimo
adalah mensyukuri kepada apa yang telah diperoleh. Apabila terjadi suatu
halangan setelah diusahakan, maka akan nrimo atau pasrah kepada Allah Yang Maha
Berkehendak (Nrimo Ing Pandum). Dalam ajaran Islam sikap mensyukuri karunia
dari Allah SWT merupakan kewajiban bagi seorang hambanya.
Sabar
adalah nilai yang percaya bahwa orang yang sabar akan mendapatkan kesejahteraan
dan keselamatan. Dalam menyelesaikan masalah harus dilakukan dengan penuh
kesabaran atau tidak boleh gegabah (sing sabar-subur). Ajaran tentang sabar ini
jelas berasal dari agama Islam.
Gotong
Royong adalah nilai kebersamaan yang saling peduli dan saling membantu
meringankan beban dalam kehidupan bermasyarakat. Gotong Royong juga terdapat
dalam ajaran Islam yang menganjurkan untuk “ Bertolong-tolonglah kamu dalam
perbuatan baik berasarkan Taqwa”.
Taqwa
merupakan pakaian kehidupan bagi masyarakat Jawa yaitu diajarkan dekat dengan
Allah SWT dengan mentaati perintah dan menjauhi laranganNya. Taqwa ini
disimbolkan dengan baju (Takwo).
Rembug
Bareng yaitu apabila memutuskan sesuatu yang mengandung harkat dan kepentingan
orang banyak maka selalu diadakan Rembug Bareng (Rembug Desa). Hal ini
berkaitan dengan ajaran Islam “Musyawarah” untuk memutuskan sesuatu.
Tepa-Slira
adalah memahami dan menghormati perasaaan orang lain dalam rangka menjaga
persaudaraan dan menjauhkan dari segala
macam konflik. Dalam ajaran Islam manusia diharapkan untuk Tafahum atau saling
memahami dalam perbedaan agar terhindar dari perpecahan.
Ojo
Dumeh, dilarang berbuat kibir (takabur/sombong) dan merendahkan orang lain.
Dalam ajaran Islam larangan takabur dan sombong juga diajarkan kepada umat.
Akar
kebudayaan Jogjakarta memiliki nafas yang sama dengan ajaran Islam dan memiliki
keterkaitan yang erat. Ajaran Islam yang sudah lama dikembangkan dalam
masyarakat Jogjakarta memiliki andil yang besar dalam mewarnai kehidupan berbudaya.
Hanya dalam penampilan dan penyampaiannya banyak yang dibungkus dengan istilah
Jawa.
Oleh : Yeni Nur Taqwin Mahasiswa Ilmu Perpustakaan
No comments:
Post a Comment